Kamis, 04 Maret 2010

cawan emas

Semuanya akan menjadi gelap bila ia tak ada
Karena ia-lah sumber kehidupan semua jiwa yang berakal
Sampai ketika air anggur itu menodainya
Terfermentasi penuh sambil menggerus karat-karatnya
Terus dan terus
Betapa sadarkah ia
Cawan ini menjadi terlihat seperti tembaga buluk, kuningan karatan
Namun namanya masihlah emas
Dan aku berasal darinya
Jadi manisnya airmu, memabukannya setiap atommu, kau bukanlah cawan itu
Jangan pinta aku tuk memilih
Sudah terlalu gamblang

ini bukan tentang tata surya

ceritakan sebuah kisah antara bulan dan mentarinya
gerhana pun datang
mentari bersinar terlalu dekat
menutupi penuh bayangannya
mentari begitu suka hati karena ia bintang
yang mampu berpendar
bulan hanya terpaku pasrah
berusaha mendapatkan sinarnya dengan segala cara
dan bintang...
masih berpendar...
sadarlah wahai mentari
kau adalah poros gravitasi sang bulan
semuanya kembali padamu

Senin, 08 Februari 2010

apa yang ia pedulikan dan yang (dipikir) tidak kau pedulikan

Ia tidak peduli darimana asalmu.
Yang ia tahu hanya sakit ketika kau bertahan dengan skeptis-rasismu.
Ia tidak peduli dari mana asalmu.
Yang ia tahu hanya perih saat merasakan ketidaknyamananmu.
Ia tak peduli dari mana asalmu.
Yang ia tahu hanya rasa hangat ketika kau melingkarkan benda itu di pergelangannya.
Ia tak peduli dari mana asalmu.
Jadi tolong rasakanlah kehampaan yang ia rasakan saat kau menghilang.
Ia tak peduli dari mana asalmu.
Jadi tolong jangan angkat wacana bodoh tentang kasta.
Ia tak peduli dari mana asalmu.
Yang ia tahu hanya tertawa saat analogi pungguk dan bulan dipakai.
Ia tak peduli dari mana asalmu.
Ia tak peduli dengan dusun atau kota.
Ia tak peduli dengan kampung atau hutan.
Yang ia tahu hanya kau begitu berarti baginya.
Tapi kau tak pernah benar-benar peduli.
Tapi kau tak mau tahu.

Senin, 11 Januari 2010

luka menganga yang menyenangkan

Dia tidak menyadari bahwa di dalam kromosom Y-nya mengalir gen adiktif yang mendarah daging.
Kau tidak akan menyadari sampai kau melihat dia.
Seorang korban.
Kau tidak menyadari bahwa alunan ritme nada yang keluar dari setiap kalimat yang kau ucapkan di telinganya adalah obat penenang.
Kau tidak menyadari bahwa sentuhan-sentuhan ringan itu seperti suntikan setiap racun yang dilesakkan paksa untuk membunuhnya dalam buaian.
Kau tidak menyadari bahwa kalimat-kalimat ringan itu menjadi bagian dari setengah jiwanya yang akan langsung hilang bila kau tidak membawanya serta.
Kau mungkin hanya mengharapkan mendapat tempat tinggal sementara dengan menyuntikkan gen itu ke entah bagian mana dalam tubuhnya yang langsung menolak kehadiran benda asing di sana.
Tapi kini percuma.
Kau memang hanya meninggalkan kehampaan.
Tapi kau memang tidak akan pernah menyadari seberapa besar bagian dari jiwanya yang menginginkanmu.
Karena ia telah terbiasa.
Terbiasa dengan racunmu.
Terbiasa dengan bisamu.
Terbiasa dengan perihnya.
Terbiasa dengan tangisan.
Terbiasa dengan maut.
Kau tidak akan pernah menyadari bahwa pasien ini telah jatuh cinta pada heroinnya.
Padamu.

perkenankan posesifitas ini untuknya

Dua malam.
Dua malam yang begitu biasa untuk dilewatkan begitu saja.
Tapi begitu menyiksa ketika coba dilupakan.
Bandung.
Tempat saya dilahirkan sekaligus tempat dimana saya terseok-seok di dalamnya.
Tapi bukan disitu tempat kita.
Tapi beribu kelometer jauhnya.
Mengapa harus disana Tuhan memberikan keindahan itu?
Keindahan dengan mata yang berbinar-binar meneduhkan.
Dan Bandung.
Sekali lagi Bandung.
Malah menjadi saksi mata sebuah perpisahan tanpa kata.
Tanpa isyarat.
Hanya sepasang mata.
Yang meneduhkan namun sendu.
Yang tak kan pernah saya lupakan, demi Tuhan.
Entah dimana ini akan berujung.
Namun sudah terlalu jauh untuk mundur.
Bilanglah saya pengecut dan berteriaklah bahwa saya benar-benar lemah.
Terserah.
Itulah saya.
Yang dengan begitu mudahnya terjatuh kembali di kubangan yang sama.
Yang begitu bodohnya untuk menguakkan luka-luka borok ini hingga tercium amisnya.
Dan kamu lah itu di sana.
Beberapa meter jauhnya dari saya yang sedang mencoba mengobati semuanya.
Menatap ramah dan mengururkan tangan sambil meyakinkan bahwa saya bisa bangkit tanpa harus mengobati luka itu.
Beralan.
Terus berjalan.
Kau hanya melihat ke depan dengan tatapan riang.
Tanganmu tetap menggenggam.
Tapi kau tak pernah menoleh dan menatap dengan mata itu.
Mata teduh itu.
Kau terus dan terus berjalan sambil berdendang.
Tak sadarkan aku harus tertatih menyamakan langkah sambil sesekali meringis merasakan luka yang belum ditutup dengan sempurna itu pelan-pelan menganga lagi.
Menolehlah dan berikan saya senyuman dengan tatapan yang itu.
Tak apa kau biarkan saya terseok sendirian di sini asal kau bisa menoleh, tersenyum, dan memancangkan matamu pada saya.
Harus pada saya.

dan zat adiktif ini...

Kau ini.
Selalu tidak sopan.
Memalak nomor ponsel.
Memaksa saya berdansa. Hey, itu kriminal! Saya TIDAK BISA dansa.
Berlagak bak gentle-man dengan membukakan pintu mobil. Hey, saya bukan sedang naik kereta kuda dan saya tidak memakai gaun yang di bagian bawahnya berbentuk kandang ayam menggembung.
Memainkan alat musik dengan ceroboh dan mengatakan itu adalah lagu khusus untuk saya di depan orang-orang. Bodoh itu namanya. Ingat saya melepaskan diri tiba-tiba? Itu saya sedang berbagi kisah dengan seseorang yang saya kasihi. Berharap bisa membuatnya penuh sesal dengan menceritakan ada seorang fans yang menggilai saya.
Mengambil gambar ketika saya sedang tidur. Uh yeah, tolong katakan, sebelah mananya dari diri saya yang mirip sleeping beauty? Saya kira nggak ada.
Mengirimi pesan-pesan singkat yang ringan dan penuh perhatian. Kau tau, saya membalasnya sambil tertawa-tawa dan menganggap ini semua lelucon?
Berguyon dengan gaya santai tentang mengejar-saya-adalah-suatu-keseriusan, itu tidak sopan. Saya dibuat mati gaya.
Datang ke tempat lahir saya. Itu salah. Kau membuat segalanya begitu mudah ketika saya mulai merasa sulit.
Pesan-pesanmu pun cenderung menggoda untuk diabaikan. Terbiasa.
Melingkarkan simpul dengan teliti di pergelangan saya, itu bodoh. Saya memiliki jerat beracun tapi bisa yang kau punya sepertinya lebih mematikan.
Sentuhan-sentuhan itu. Begitu ringan namun berdaya tinggi. Perlukah saya memasang antena penangkal petir di puncak kepala saya ketika kau membuat saya teraliri aliran listrik beberapa ribu watt? Beberapa teman menjawab perlu.
Lalu...
Tatapan itu. Sepasang mata itu. Ya Tuhan, sungguh, kau ingin saya memilih loncat dari angkot dan jatuh ke jurang ya, daripada menatap balik?? Itu terlalu... teduh. Bukan pasang mata yang selama ini saya harapkan. Cenderung saya hindari.
Tapi kau merusak segalanya. Oh saya lupa, kau memang perusak segala setelah mendobrak banyak pertahanan saya hanya dengan sentilan-sentilan ringan antara kelingking dan ibu jarimu.
Engkau adalah pencapaian. Seharusnya pencapaian. Setelah saya berusaha membuat kau teracuni jaring.
Namun brengseknya, kau berbisa. Terlalu mematikan itu bisamu.
Jaring tidak berfungsi.
Bisa cepat menyebar.
Beracun.
Mematikan.
Menimbulkan euforia.
Saya tau ini berbahaya.
Bagai pecandu, dan saya terlalu lemah.
Heroin.
Dengan racun tingkat tinggi, daya tawar yang hebat, tampilan memikat.
Katanya rasanya manis. Tapi bahkan ini terlalu pahit.
Masa bodoh.
Racun-racun yang ditawarkan begitu menjanjikan walau setiap titik yang menyebar dalam darah ini begitu perih dan menyiksa.
Saya masih punya dua kemungkinan.
Berhenti dan gila-gilaan mencari panti rehabilitasi, mencari penawar racun yang lebih kuat, tentunya, penuh siksaan.
Atau...
Terus menikmati rasa perih ini sampai pelan-pelan racun ini melesak ke organ-organ pusat tubuh saya yang dengan kata lain saya sebut dengan “menunggu maut”.
Mungkin saya sekarang masih di bawah pengaruh obat sialan itu. Ya, sekarang, tentunya saya akan lebih memilih kemungkinan ke dua.
Terimakasih.
Untuk membuat saya terracuni.
Untuk membuat saya mati pelan-pelan.
Tapi sekarang itulah yang saya butuhkan.

penfui, kupang, november 2009

Hup.
Langkahkan kaki terus di kota karang ini.
Panas.
Benar-benar panas.
Butuh yang dingin. Ayo cari eskrim. Oh, susah cari eskrim.
Harus jalan di atas aspal sejauh 2km tanpa pelindung karena yang ada hanya dedaunan dari “pohon kurang dermawan” untuk berdaun.
Oh, sudahlah. Duduk saja si saya ini di bawah pohon bersama saudara jauh yang senasib sepenanggungan untuk mencoba bertukar canda.
Mungkin mereka juga berpikir barter lelucon adalah cara cerdas penghilang rasa panas.
Dan di situlah engkau.
Melesak menarik ujung mata saya yang otot-ototnya berparalel dengan otot leher saya yang pelan-pela menoleh..
Menyamar dengan fasad menyerupai seseorang yang familier.
Siapa namamu,
wahai pria bersenyum manis...