Senin, 11 Januari 2010

perkenankan posesifitas ini untuknya

Dua malam.
Dua malam yang begitu biasa untuk dilewatkan begitu saja.
Tapi begitu menyiksa ketika coba dilupakan.
Bandung.
Tempat saya dilahirkan sekaligus tempat dimana saya terseok-seok di dalamnya.
Tapi bukan disitu tempat kita.
Tapi beribu kelometer jauhnya.
Mengapa harus disana Tuhan memberikan keindahan itu?
Keindahan dengan mata yang berbinar-binar meneduhkan.
Dan Bandung.
Sekali lagi Bandung.
Malah menjadi saksi mata sebuah perpisahan tanpa kata.
Tanpa isyarat.
Hanya sepasang mata.
Yang meneduhkan namun sendu.
Yang tak kan pernah saya lupakan, demi Tuhan.
Entah dimana ini akan berujung.
Namun sudah terlalu jauh untuk mundur.
Bilanglah saya pengecut dan berteriaklah bahwa saya benar-benar lemah.
Terserah.
Itulah saya.
Yang dengan begitu mudahnya terjatuh kembali di kubangan yang sama.
Yang begitu bodohnya untuk menguakkan luka-luka borok ini hingga tercium amisnya.
Dan kamu lah itu di sana.
Beberapa meter jauhnya dari saya yang sedang mencoba mengobati semuanya.
Menatap ramah dan mengururkan tangan sambil meyakinkan bahwa saya bisa bangkit tanpa harus mengobati luka itu.
Beralan.
Terus berjalan.
Kau hanya melihat ke depan dengan tatapan riang.
Tanganmu tetap menggenggam.
Tapi kau tak pernah menoleh dan menatap dengan mata itu.
Mata teduh itu.
Kau terus dan terus berjalan sambil berdendang.
Tak sadarkan aku harus tertatih menyamakan langkah sambil sesekali meringis merasakan luka yang belum ditutup dengan sempurna itu pelan-pelan menganga lagi.
Menolehlah dan berikan saya senyuman dengan tatapan yang itu.
Tak apa kau biarkan saya terseok sendirian di sini asal kau bisa menoleh, tersenyum, dan memancangkan matamu pada saya.
Harus pada saya.

Tidak ada komentar: